Sabtu, 04 September 2010

Tak Perlu Mahir Matriks untuk Bisa Menghidupi Diri



Kemarin merupakan acara buka puasa bersama kedua bagi kami (para alumni Ipa 2) di bulan Ramadhan tahun ini. Sebagai info, buka puasa bersama yang pertama diadakan di kediaman salah satu rekan saya. Dan untuk kemarin, suatu kehormatan kami bisa datang dalam undangan Wali kelas kami di kelas tiga. Rumahnya di daerah Cilodong. Dari keadaan sekitar bisa saya simpulkan bahwa perumahan yang beliau tempati merupakan perumahan yang baru dibangun. Hal ini setidaknya terlihat dari banyak bangunan yang belum selesai dibangun, masih tergolong jarang penduduk.

Yang mau saya tulis kali ini bukan tentang bagaimana suasana acara kemarin. Bukan tentang hectic nya kami karena satu sama lain sudah lama gak berjumpa. Bukan juga tentang bagaimana repotnya saya menjawab jutaan pertanyaan dengan isi dan nada yang sama: "Khai nya kemana? Telpon dong suruh dateng. Masa sendirian."

Kalau boleh saya bilang, yang akan saya tulis lebih urgent dari hal-hal tadi.
Ini tentang perkataan sang ahli Matematika yang kurang lebih satu tahun telah saya kenal. Tentang perkataan Ibu sekolah yang senantiasa menuliskan sederetan rumus aljabar, matriks, trigonometri,integral hingga bangun ruang. Wali kelas saya. Wali kelas kami. Ibu didik kami selama setahun. Ringkasnya berkata seperti ini:
"Mata angin yang pokok ada empat. Utara (North), Timur (East), Selatan (South) dan Barat (West). North untuk Nature, yang mana kita harus tahu sekecil apapun manfaat yang kita dapat dari alam. Harus ditanamkan sejak dini, diberi penjelasan, darimana oksigen yang kita dapat. Bagaimana usaha kita untuk terus mendapatkan udara yang sehat. Singkat kata: Jangan hanya ingin mendapatkan manfaat dari alam namun kita sendiri masih malas-malasan untuk "menjamu" alam dengan sikap dan perilaku yang baik. Arah mata angin kedua, Timur (East) untuk Economic. Sejak dini pula sebaiknya kita harus diajarkan tentang bagaimana sulitnya mendapatkan uang. Bagaimana mengatur peredaran uang agar uang yang kita dapat tidak mengalir begitu saja. Ketiga yaitu Selatan (South)untuk Social. Artinya kita harus peduli dengan yang lain. Jangan sampai jadi orang cerdas namun bersikap anti-sosial. Sama saudara sendiri tidak saling kenal-parahnya begitu. Dan yang terkahir adalah Barat (West) untuk Welling. Anak harus "digiring" pada kesejahteraan. Bhawa anak mempunyai hak untuk mendapatkan kesejahteraan baik dalam keluarga, masalah pendidikan, maupun kasih sayang"



Ya, yang selama masa sekolah selalu yang jadi target adalah:
"Saya harus bisa menguasai pelajaran agar kelak punya masa depan yang cemerlang"
Pemikiran ini nyatanya terbantah mentah-mentah. Sya tak perlu mahir matematika. Tak perlu cerdas mengkalkulasikan angka. Tak perlu cerdik mengotak-atik berbagai rumus. Karena sesungguhnya yang saya butuhkan (dan kalian barangkali) pada dasarnya adalah empat arah mata angin tersebut. Alam, Ekonomi, Kepedulian dan Kesejahteraan. Bukan berarti saya mengatakn Belajar Itu Tidak Perlu. Belajar tidak akan pernah habisnya. Tak terbatas waktu dan ruang. Hanya saja saya tidak ingin menjadi manusia yang berotak namun tidak berarti. Karena hidup tak pernah bisa diprediksi. Ketidakpastian ini akan selalu datang. Dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.

Belajar mulai sekarang. Tak hanya melalui buku dan duduk manis di kelas.

Kamis, 12 Agustus 2010

Sisi Lain

Begini nih konsekuensi logis yang harus dihadapi jika kita memutuskan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis (baca: pacaran). Segala macam rasa harus siap ditelan, bahkan sesekali harus dimuntahkan kalau memang merasa sudah tidak tahan. Kalau mama dan papa saya saja yang sudah puluhan tahun merajut asmara melalui level rumah tangga masih dibumbui dengan "debat" yang bernuansa tegang, bagaimana saya yang baru beberapa tahun berubah status menjadi kekasih seseorang?

Hmm, mungkin beberapa postingan saya terdahulu lebih cenderung memberi gambaran "kebahagiaan", "keromantisan" atau apalah itu bahasanya antara saya dan kekasih saya. Namun dibalik itu semua, seperti yang saya bilang diatas, bagaimana mungkin kami yang baru beberapa tahun menjalin hubungan terlepas begitu saja dari sebuah perselisihan? Mengingat contoh nyata, yaitu orang tua saya, yang sudah banyak makan asam garam kehidupan masih beberapa kali disinggahi kondisi perang dingin.

Disini saya ingin menuturkan betapa saya tidak suka dengan dua sifat buruk yang dimiliki oleh kekasih saya. Bukan untuk mengeluh. Perlu diingat, tujuan saya menulis ini bukan untuk mem-persuasi-kan atau mendeskripsikan bagaimana buruknya sifat seseorang atau lebih parahnya menggambarkan betapa sengasaranya saya menjalani hubungan ini. Tentu bukan itu! Seperti tujuan mulanya saya membuat blog ini: Saya ingin menuangkan semua yang ada dikepala saya karena terus terang hal-hal yang megendap dikepala membuat jiwa saya juga terpengaruh, yang ujung-ujungnya waktu yang saya miliki terbuang begitu saja. Sia-sia.

Dimulai dengan sifat buruk dia yang menduduki peringkat kedua dari The most bad attitude list yang pernah saya buat dalam buku Coklat kami (semacam buku harian jilid kedua yang kami miliki), yaitu NGAMBEK. kata yang saya capslock semua itu mungkin sudah tidak asing lagi ya. Kata itu juga yang mungkin sering dilontarkan kepada manusia yang usianya kira-kira antara bayi sampai mereka yang masih duduk di bangku SD (katakanlah: anak-anak). Namun justru kata itu pula yang sering membuat saya kehabisan kata-kata jika wujudnya hadir secara nyata. Membuat saya jengkel bukan kepalang, dongkol seperti tersedak duri ikan tongkol, atau perasaan menyebalkan lainnya yang mengerikan apabila saya sebut. Biasanya ini muncul kalau saya bertindak "lama" atau bahasa gaulnya "lemot" dalam merespon segala tindak-tanduknya kepada saya. Sebagai contoh, sederhana saja sebenarnya, beberapa menit yang lalu kami sempat chat di YM. Berhubung saya sedang discuss dengan salah satu teman di chat FB tentang satu hal yang menurut saya penting, otomatis saya tidak terlalu menggubris Ym yang sengaja saya online. Setelah beberapa menit berlalu, saya baru nge-cek YM saya. Ternyata terpampang beberapa kalimat dai seberang sana. Dari dia. Karena baru lihat, ya pasti saat itu juga baru saya balas. Nampaknya dia ngambek atas "kelamaan" atau "kelemotan" saya itu. Sikap buruknya ini sering dibarengi dengan prosesi MARAH. Ya, dua kata sejoli ini memang saling bertautan. Begitu juga dengan masalah balas-membalas chat di YM saat itu. Dia ngambek. Dia marah. Dia offline.

Dan yang ini merupakan sifat dari segala sifat yang sangat teramat saya benci, sangat saya kutuk manakala muncul di permukaan: CURIGA. Saya memang bukan maling. Bukan pencuri. Perampok ataupun perompak yang pantas dan layak untuk dicurigakan oleh orang lain. Namun, sifat terkutuk ini kerap hadir lebih sering karena terdahulunya ada beberapa lelaki yang mencoba mengganggu hubungan ini. Ya, katakanlah si A, B, C dan entah menurut dia ada alfabet apalagi yang akan muncul. Kalau sudah kayak gini ya, saya merasa seperti perempuan yang kesana-kesini mau. Padahal demi komitmen seserius apapun (dan diapun tahu dan sadar) kalau hubungan ini bukan main-main. Kami berdua sama-sama serius menjalaninya. Untuk kedepan. Masa iya sih saya punya pikiran untuk menduakan atau menigakan atau men-berapa-kan dia? Terlintas pun tidak! Tanpa diminta sebenarnya saya pun sudah memaafkan dia kalau sifat-sifat yang seperti ini datang (sama seperti dia yang selalu memaafkan saya). Tapi kalau ini terus menerus berlangsung, siapa juga perempuan yang tahan?

Disisi lain, sebagai seorang perempuan yang juga manusia, saya juga memiliki banyak kekurangan, terutama sebagai kekasih dimata dia. Ini saya akui. Sama seperti saya blak-blakan mengakui dua sifat buruknya yang sangat saya benci.
Sampai saat ini, jujur saya belum mempunyai cara yang benar-benar jitu untuk tidak ikut-ikutan menjadi gusar saat mengahadapi dia dengan sifat buruknya itu. Ya, dengan duduk berdua. Berbicara terang-terangan tanpa ada yng ditutup-tutupi itu sudah beberapa kali dilakukan. Namun, beberapa hari kemudian pula hal yang serupa kembali hadir. Bingung -.-

Buat kamu (yang katanya lebih tua setahun dari aku):
Kita masih sama-sama sedang belajar memahami kehidupan. Memahami segala macam tindak-tanduk manusia. Memahami kita, satu sama lain sebagai masing-masing pribadi. Belajar untuk mengurangi yang buruk itu. Perlahan semuanya akan terkikis habis.
*yangselalumenyayangikamu

Rabu, 04 Agustus 2010

Untuk semua yang telah terjadi..

Kisah ini tidak memerlukan penjabaran. Serumit apapun, bahkan hingga kesulitannya menandingi rumus integral, trigonometri ataupun differensiasi. Siapa yang peduli jika aku mati? Tidak ada. Siapa yang peduli jika kamu mati? Ada. Setidaknya satu perempuan. Itupun jika si perempuan lebih lama hidup ketimbang kamu.

Langit pun menjadi saksi, bahwa hujan turun ke bumi melewati beberapa proses. Dalam bentuk rintik sekalipun. Air yang mengalir, bermuara ke hamparan laut. Dengan sebuah proses lalu terjadi penguapan, entah apa yang terjadi kemudian hingga tiba-tiba muncul awan kegelapan. Mendung (tidak! tidak selalu mendung. saat terik pun kadangkala hujan bisa turun). Baru kemudian apa yang dinamakan sejuta umat hadir secara nyata. Hujan, seperti yang tadi aku bilang. Tidak membutuhkan alasan mengapa dia hadir. Karena sejatinya, ada yang berkehendak. Jauh di atas sana. Entah dimana tepatnya berada.

Sudahkah aku bercerita bahwa ayam pun bisa tidur? Atau ikan yang bisa berkeringat saat lelah menghampiri karena telah berenang jutaan mil tak tentu arah? Hmm, coba ingat yang satu ini: Apa aku pernah bercerita tentang bagaimana malunya aku bernyanyi di hadapan kamu? Haha, jangan bohong! Jangan menggelengkan kepala! Anggukan saja. Kau ingat. Pasti ingat. Berapa juta kisah yang kamu ingat dari perjalanan cinta kita yang hampir masuk tahun ke empat ini? Aku tahu, mungkin kamu akan jawab: ratusan juta. Ralat: ribuan juta. Revisi: milyaran. Final answer: tak terhingga. Sesungguhnya apapun yang akan meluncur dari bibir eksotismu, aku pun tak begitu peduli. Karena ini hanya masalah kapasitas otak, bukan sengaja mengabaikan pengalaman.

Semangatku masih menyala, entah untuk apa. Yang aku mengerti aku masih hidup. Dan kehidupan membutuhkan semangat dari setiap insan yang bergelut didalamnya. Itu saja.

Tersenyumlah. Aku tidak memaksamu untuk tertawa terbahak-bahak hingga perutmu yang mulai bergelambir serasa dikoyak-koyak. Tidak juga memintamu meyeringai lebar, menunjukkan sederetan gigi ratamu yang besar-besar. Sesederhana ini: tersenyumlah. Jika sulit, coba paksa otakmu mengingat peristiwa konyol yang kita alami bersama. Ya, coba ingat! Kenapa diam? Tidak berhasil ya? Kenapa tidak juga kau sunggingkan bibirmu? Coba ingat sekali lagi!

Hahaha, kau seperti lelaki kesetanan. Membuatku jantungan. Terima kasih. Ini berkali-kali lipat dari yang aku bayangkan. Senyummu punya kadar berapa pangkat? Pangkat dua, tiga, sebelas, seratus, lima ratus lima puluh lima, dua ratus dua puluh dua, atau berapa? Tak penting. Jujur, aku bahagia sempat melihatnya. Semua yang kulihat ada pada dirimu. Hal yang pernah aku pasrahkan sebelumnya kepada Pencipta. Dan kini, semenjak beberapa tahun yang lalu, kau berhasil singgah.

Andai semua bisa terucap dari mulutku. Mungkin semua tak kan begini, seolah menyudutkanmu. Diam dihadapanmu. Tetapi untuk apa disesali. Toh, semua sudah tercipta. Lebih bijaksana jika mulai sekarang berpikir ke depan. Bukan yang lalu, yang kerap membuntutimu, yang sering mengekor di belakangmu.

Adakah yang salah dari apa yang kita jalani beberapa tahun ini? Sikap? Sifat? Tindak tanduk? Ucap? Otak? Hati? Jiwa? Rasa? Ahh, rasa-rasanya tidak. Pasti tidak. Tuhan selalu adil. Selalu sayang kita. Mungkinkah kita yang kurang menyayangi Tuhan? Retoris. Kita, manusia, yang sejatinya punya kemiringan beberapa derajat dalam tingakatan konsistensi.

Teruslah berlari. Jangan berjalan, terlebih terseok-seok. Mencari sebuah pengharapan lain, pada waktu yang lain. Mungkin untuk saat ini keberuntungan tak berpihak pada kita. Mungkin. Karena keberuntungan selalu datang tiba-tiba. Tak terduga. Entah yang tahu siapa.

Entahlah

Aku lebih takut terkilir ketimbang terjatuh
Walau kening penuh dengan peluh,
tetapi satu yang ku tahu darimu
"Hidup bukan untuk dihabiskan dengan mengeluh"
Hatiku tergerus
Bukan karena pengkhianatan
ataupun melihatmu telanjang badan dengan perempuan
bukan juga karena deretan angka-angka semesteran
Ah!
Lebih dari itu
Mungkin sejuta lebih besar dari itu
Mungkin- tak terkalkulasi
Aku mengamati, mungkin hingga mati
Dalam relung senja di tengah khatulistiwa
Saat semua bersorak, entah karena apa
saat ayam jantan berkokok, entah karena apa
saat angin berhembus, entah karena apa
saat air mengalir, entah karena apa
saat pagi berganti malam, entah karena apa
saat detik berganti menit, entah karena apa
saat hari berganti tahun, entah karena apa
saat cintaku mulai bertanya, dan ini juga dengan alasan yang sama:
entah karena apa

Senin, 19 Juli 2010

Our Great Holiday!!!

Untuk pertama kalinya mungkin saya agak sedikit berlebai mengenai isi dari postingan kali ini.

Telah dua tahun menjajaki dunia perkuliahan yang setiap minggunya rutin bergelut dengan segala sesuatu yang berbalut angka. Pajak pajak dan pajak. Akuntansi akuntansi dan akuntansi. Ya! Saya telah melewatinya hingga di ujung semester 4 ini yang mana menandakan bahwa libur semester genap terlihat seperti seonggok daging bagi anjing yang kelaparan. Libur semester genap selalu dinanti walaupun saya tidak pernah tahu apa saja yang akan saya lakukan selama kurang lebih 3 bulan ke depan.

Berbekal nilai semester yang melonjak dahsyat saya memulai hari demi hari liburan kali ini.
Teringat janji dari my couple fighter yang akan membawa saya berlibur ke luar kota dari kota yang sangat penat ini. Tidak mau menagih, tetapi terus gencar memberi sinyal. :)
Menghabiskan waktu seharian bersama memang bukan sesuatu yang baru bagi kami. Seperti yang sebelumnya saya tulis pada postingan terdahulu, bahwa kami memang telah terbiasa bersama dari hari ke hari. Tetapi berbeda rasanya manakala sehari bersama dihabiskan tanpa bayang-bayang tugas kuliah ataupun materi-materi kuliah yang siap untuk dijamah sepulangnya kami bersama. It's time to us!

Diawali dengan menyusuri kota hujan dengan menaiki transportasi (yang memang benar-benar memungkinkan akan saya hindari untuk dinaiki) kereta api. Niatnya ke kota ini ingin menyantap salah satu makanan yang memang sudah tersohor. Niat itu sedikit tergeser karena pertama kali kami hanya berjalan-jalan seperti tanpa arah tujuan. Setelah perut merasa lapar, mampir ke Kafece (sebutan akrabnya untuk sebuah franchise hidangan berbahan ayam siap saji). Hujan. Keyakinan batalnya mampir ke tempat tujuan semakin besar. Agak lama di Kafece. Satu yang saya tahu saat makan makanan cepat saji ini, dia agak kurang suka menyantap hidangan fast food seperti ini. Makannya gak habis. Saya yang memang luar biasa gak tahu malu dan memang benar-benar laparpun siap melahap makanannya :P
Hujan masih turun sampai magrib menjelang. Keputusan untuk tetap jalan pun dicetuskan. Ternyata dia membawa saya ke tempat tujuan semula. Sesampainya di tempat tujuan, kami berdua kayak anak kesasar. Merasa kaku dengan keadaan sekitar. Merasa asing dengan tempat yang didominasi oleh cahaya lilin tersebut. Naik ke lantai dua. Tetap perasaan asing menghantui. Ya, dengan manisnya kami menuruni anak tangga seketika itu juga dan malah bergegas pulang. Hmmm, tidak langsung pulang ternyata. Menyusuri jalan (yang entah namanya apa), tetap masih dalam keadaan basah (baca: hujan). Sudah merasa tidak ada yang perlu dilihat, kali ini kami benar-benar pulang dengan sebelumnya mampir sebentar ke salah satu pedagang untuk membeli pesanan mama saya.

Selanjutnya, masih dengan berkereta ria, perjalanan kedua memang berawal dari rencana yang telah gagal sebelumnya.
Jadi begini, suatu hari kekasih saya menjanjikan mengajak saya ke daerah Kemayoran untuk mengunjungi acara tahunan di daerah ibukota. Pekan Raya Jakarta. Tetapi karena pada hari itu kami pulang dari Stasiun Senen agak malam (tujuan membeli tiket berlibur pada hari itu juga gak jadi, hanya survei) maka batal pulalah rencana itu. Beberapa hari selanjutnya, setelah dari Stasiun Senen pula (kali ini masih siang. baguslah!) dia benar-benar mengajak saya ke PRJ. Agak lelah mungkin perjalanan kali ini mengingat dari stasiun kami harus jalan menuju terminal untuk menjangkau bus yang punya rute ke arah PRJ. Panas. Gerah. Tanpa malu, menjajaki sepanjang jalan dia membuka payung dan dengan gagahnya memayungi saya. Terima kasih, Pacar! Sampai di area Prj. Saya tidak tahu betul apa alasannya, tetapi yang jelas selama saya menjadi kekasihnya, kami seringkali dihadapkan pada hal-hal diluar rencana. Membuat kami sedikit terbiasa melakukan hal-hal yang sifatnya spontanitas. Kali ini juga, setelah mengelilingi keramaian sejenak, kami memutuskan untuk tidak membeli barang-barang yang nantinya bisa mebuat uang kami keluar banyak. Bukan pelit. Tetapi kami tahu, liburan besar kami nanti jauh lebih membutuhkan dana. Prioritas. Untuk itu, nafsu saya untuk berburu sesuatu pun mau tidak mau harus ditelan mentah-mentah. Tetapi Tuhan baik sekali dengan saya. Sebagai informasi saja, kekasih saya nampaknya jauh lebih kalap ketimbang saya saat barang-barang branded di banderol dengan harga yang jauh lebih murah karena adanya diskon yang selangit. Niat untuk memakai tema "Hemat" pun terpatahkan. Pilih ini itu, nyoba sana sini. Bolak balik pilih yang pas. Telapak kaki sudah senut-senut baru sedikit sadar bahwa ini memang sudah melampaui batas. Dana untuk bekal liburan besar kami "sedikit" terpakai. Terpakai untuk, ya menurut kami, hal yang berguna. :).

*Kota Seni. Bermalam di dekat tempat lokalisasi. Dari pagi siang sore malam hingga pagi lagi. 5 hari 4 malam. Bersamamu. Next Story


Minggu, 11 Juli 2010

Tolong telaah lebih jauh apa arti sebuah kata KENCAN!


Saya mem-posting tulisan ini karena merasa risih dengan perkataan kebanyakan orang yang kerap bilang kata "kencan" saat disengaja ataupun kebetulan berpapasan dengan kami (saya dan partner saya).

Seperti kebanyakan perempuan seumuran saya, saat ini saya dianugerahi seorang partner yang sangat luar biasa hebat (perlu diklarifikasi, kalimat terakhir ditulis tanpa ada tekanan sepeserpun dari pihak manapun :p). Sejenak menceritakan awal perjumpaan bahwa kami dulunya memasuki jenjang sekolah menengah atas pada sekolah yang sama. Dua tahun bersama hingga akhirnya berpisah saat memasuki jenjang perguruan tinggi (padahal masih satu lingkungan ;p). Kami berdua sama-sama mempunyai jaket almamater berwarna senada. Kuning ngejreng. Hanya saja emblem yang mejeng di sisi kiri jaket almamater kami berbeda. Ditingkat inilah sebuah keputusan untuk bersama dicetuskan. Karena seperti yang tadi saya bilang, lingkungan kampus kami saling bersebelahan sehingga gak ada alasan bagi kami untuk bersusah payah empot-empotan untuk sekedar ketemu.

Saya terbiasa pulang-pergi sama dia. Ya, hitunglah gak full seminggu bareng. Paling banyak 4-5 hari bertemu. Frekuensi yang kata orang "terlalu sering" ini yang konon menimbulkan persepsi aneh di otak orang-orang. Perlu diakui disini bahwa saya memang lebih bayak menghabiskan waktu lebih banyak dengan dia ketimbang dengan teman sejawat. Bukan karena tidak nyaman dengan mereka. Bukan karena label saya yang sudah punya pacar sehingga kerap selalu mementingkan pacar daripada teman. Dan bukan juga karena larangan dari pihak sang partner untuk berlama-lama menghabiskan waktu dengan mereka. Sungguh bukan karena hal-hal bodoh semacam itu.

Jarangnya saya nyemplung di perkumpulan teman-teman mungkin tak sedikit yang bertanya-tanya. Ibarat planet pluto, ada yang bilang saya telah hilang dari peredaran. Ada yang bilang saya terlalu sibuk pacaran. Ada yang bilang bahwa saya tidak seperti yang dulu, ya katakanlah sudah berubah. Intinya terselip kata-kata "kencan" dalam rentetan kalimat yang mereka ucapkan. Saya memang hanya bisa tersenyum-senyum yang jujur agak dibuat-buat karena memang dalam lubuk hati saya yang sangat dalam saya agak kurang bisa menerima kata "kencan" yang melengkapi percakapan mereka. Meskipun satu atau dua dari mereka saya yakin mengucapkannya sebagai candaan atau selingan, namun hati saya tetap tidak berkenan.

Saya dan partner saya memang masih sama-sama berjiwa muda. Wajar bila akhirnya kami dulunya memutuskan untuk menjalin suatu hubungan yang sekarang dinamakan pacaran. Kalau kata mama saya, pacaran jaman sekarang identik dengan yang namanya "kepuasan". Bukan sebatas omong kosong, ucapan mama saya jelas-jelas mempunyai latar belakang. Maraknya tingkat "perbuatan tidak senonoh" dikalangan pasangan anak muda yang menjadi sebab musabab ucapannya tadi. Bisa jaga diri dan tetap menjaga etika akhirnya bisa membuat mama saya bernapas lega karena telah mengijinkan anaknya menjalain hubungan dengan orang yang mempunyai akreditasi "A".

Perlu diketahui, saya akhirnya memutuskan dia menjadi kekasih saya selain karena kami cocok secara emosional, kami juga cocok secara intelektualitas. "Kapasitas dan kualitas otak yang berlebih" menjadi satu dari sekian syarat yang harus dimiliki sampai akhirnya kami bisa bersama. Jangan mengira saya sombong menulis kalimat demikian. Saya hanya tidak ingin mempunyai kekasih bodoh. Gak enak juga kalau tiba-tiba lagi diskusi panjang lebar, sang partner malah planga-plongo karena otaknya yang tidak mendukung.

Atas bekal intelektualitas dan kepribadian yang berkualitas inilah yang membuat saya akhirnya berani menulis rangkaian kalimat sepanjang ini. Sebagai pasangan yang sedang berjuang mencapai cita dan cinta wajar jika saya merasa sangat amat keberatan jika banyak yang berpikir kami menghabiskan banyak waktu dengan hal-hal gak guna atau sekedar "kencan". Masih selangit hal-hal yang menunggu untuk segera kami selesaikan, yang pastinya jauh lebih urgent dari kata "kencan".

Disini saya tidak akan men-judge siapapun karena telah berucap yang tidak mengenakkan terhadap saya. Sebagai seseorang yang mempunyai kewenangan untuk berucap apapun saya tetap menghargai apa yang telah mereka bilang. Namun, sebagai seorang manusia, saya juga punya hak prerogrative untuk merespon apa yang telah mereka sampaikan. Karena ini menyangkut saya. Kami.

Maaf jika postingan ini justru membuat satu atau beberapa pihak menjadi tidak enak.
Saya. Dia. Kami. Pasangan yang tidak didominasi oleh sesuatu yang sama sekali gak ada guna.

Rabu, 23 Juni 2010

Kejujuran dari Cianjur, bukan tentang bubur atau nasib mujur!

Menghabiskan waktu selama delapan hari di Desa Sirnagalih, Cianjur, untuk kepentingan LPMPS (Latihan Praktik Metode Penelitian Sosial). Niatnya ingin menjadi turis disana, namun karena memang tujuan awalnya dari pihak kampus adalah sebagai peneliti, jadi niatan untuk mengunjungi tempat2 wisata atau sekedar menyicipi dan wisata kuliner disana cuma sebatas impian kosong belaka.

Sibuk nyari-nyari responden mengelilingi desa orang. lewat gunung bersama partner kelompok hingga telapak kaki kayak mati rasa dan betis berasa varises. melawan sengat matahari yang panasnya gak ada toleransi. semua dilakukan selama kurang lebih delapan hari.

Kata kebanyakan orang-orang bijak, dimana ada kesulitan pasti ada jalan. dimana ada kejengkelan pasti ada kebahagiaan (nanya: si bijak versi siapa ini kata2? haha). Karena termasuk tipikal anak yang gak bisa jauh selangkahpun dari ketek orangtua (baca:mama), hari pertama disana berasa kayak orang yang sedang konstipasi (susah buang air besar-red). mau ngapa-ngapain serba gak enak. didukung tempat penginapan yang sangat layak tetap gak membuat hati dan pikiran nyatu. butuh doraemon secepatnya. terutama kantong ajaib di perutnya yang buncit. mau langsung pulang (klo ketauan dosen kayak gini, mungkin saya udah dikeplak :p). sebenernya bisa aja pulang, dijalan besar depan komplek tempat kami tinggal (ya! selama turlap disana kelompok saya tinggal di komplek estate-Graha Pratama Estate-BUKAN di gubuk pematang sawah estate), saya ulang ya, sebenernya bisa aja pulang, dijalan besar depan komplek tempat kami tinggal banyak bus dengan tujuan Cianjur-Jakarta. asal punya modal nekad lebih gede segede pipi saya, mungkin sore harinya juga saya sudah bisa samapai lagi dirumah. ketemu mama. tapi sayangnya, bayang-bayang gak akan lulus mata kuliah berikutnya selalu aja bisa mejeng dan menari-nari indah di pikiran saya. gak pernah sekalipun punya keinginan dan niatan dan bayangan untuk sekelas dengan junior di masa-masa perkuliahan. Jangan sampe Ya Allah. ALHASIL, saya hanya bisa duduk manis plus mesem-mesem kecut di tempat. mau gak mau tetap disini hingga delapan hari kedepan. owyeaahh!! saya jadi mahasiswi penurut sekarang!

Entah apa yang saya rasa setelah sepekan lebih menghabiskan liburan disana, namun sepulangnya darisana saya menemukan arti kehidupan. Selama ini saya cukup mempelajari kehidupan dari fenomena yang terjadi pada diri sendiri, mungkin sekilas juga belajar dari sosok orang lain, itupun kadarnya tidak melebihi dosis yang dianjurkan dokter (loh?).

Saya memahami bahwa hidup tidak sendiri. Hidup dengan manusia lain.
Seberapapun anda memiliki kekuatan, perlahan namun pasti, apa yang kau punya akan memendar seiring berjalannya mesin waktu. Tuhan tidak secara ekslusif menciptakan manusia seorang diri. Karena apa? Karena Tuhan super duper canggih. Pengetahuan-Nya yang tak terbantahkan mampu menembus segala keterbatasan manusia bahwa mereka (manusia) memerlukan seorang "teman", bahkan lebih. Dan pasti lebih! Jikapun satu diantara mereka berucap, "Saya bisa sendiri!", instuisi saya berucap bahwa ucapan itu adalah suatu bentuk penegasan untuk menunjukkan betapa inginnya dia diberikan kepercayaan untuk bisa mewujudkan apa yang diinginkan, dengan usahanya sendiri pastinya. Saya yakin, saat dirinya berucap demikian, dia tidak memerlukan kepercayaan yang "penuh" dari orang sekitar, mungkin setetes atau dua tetes kepercayaan sudah cukup baginya. Namun setelah semua (kepercayaan) itu didapat, tak bisa dipungkiri bahwa "Saya bisa sendiri" nya tidak akan bertahan lama. Dia akan kembali. Kembali kepada orang-orang sekitar yang pernah dimintanya untuk sejenak menjauhkan diri darinya. Ini wajar, karena kita, manusia, "berkepribadian mendua", individualis dan sosialis.

Untuk sesosok manusia disana yang katanya ingin mandiri, saya menyambut hangat akan niat dan tekad yang pernah kau ucap. Satu pesan akan saya kumandangkan (mungkin seringkali kau dengar):
"Kemandirian seseorang terkadang berbenturan dengan banyak hal. Yakini dirimu bahwa setiap langkah yang kau jalani tidak membuat manusia lain merugi. Karena saya, kamu, mereka dan manusia lain, masing-masing mempunyai hati. Yang seringkali hati mereka menjadi sesuatu yang diagungkan sehingga kesensitifannya melebihi kadar sensitifitas kemaluan mereka sendiri"

yura