Kamis, 12 Agustus 2010

Sisi Lain

Begini nih konsekuensi logis yang harus dihadapi jika kita memutuskan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis (baca: pacaran). Segala macam rasa harus siap ditelan, bahkan sesekali harus dimuntahkan kalau memang merasa sudah tidak tahan. Kalau mama dan papa saya saja yang sudah puluhan tahun merajut asmara melalui level rumah tangga masih dibumbui dengan "debat" yang bernuansa tegang, bagaimana saya yang baru beberapa tahun berubah status menjadi kekasih seseorang?

Hmm, mungkin beberapa postingan saya terdahulu lebih cenderung memberi gambaran "kebahagiaan", "keromantisan" atau apalah itu bahasanya antara saya dan kekasih saya. Namun dibalik itu semua, seperti yang saya bilang diatas, bagaimana mungkin kami yang baru beberapa tahun menjalin hubungan terlepas begitu saja dari sebuah perselisihan? Mengingat contoh nyata, yaitu orang tua saya, yang sudah banyak makan asam garam kehidupan masih beberapa kali disinggahi kondisi perang dingin.

Disini saya ingin menuturkan betapa saya tidak suka dengan dua sifat buruk yang dimiliki oleh kekasih saya. Bukan untuk mengeluh. Perlu diingat, tujuan saya menulis ini bukan untuk mem-persuasi-kan atau mendeskripsikan bagaimana buruknya sifat seseorang atau lebih parahnya menggambarkan betapa sengasaranya saya menjalani hubungan ini. Tentu bukan itu! Seperti tujuan mulanya saya membuat blog ini: Saya ingin menuangkan semua yang ada dikepala saya karena terus terang hal-hal yang megendap dikepala membuat jiwa saya juga terpengaruh, yang ujung-ujungnya waktu yang saya miliki terbuang begitu saja. Sia-sia.

Dimulai dengan sifat buruk dia yang menduduki peringkat kedua dari The most bad attitude list yang pernah saya buat dalam buku Coklat kami (semacam buku harian jilid kedua yang kami miliki), yaitu NGAMBEK. kata yang saya capslock semua itu mungkin sudah tidak asing lagi ya. Kata itu juga yang mungkin sering dilontarkan kepada manusia yang usianya kira-kira antara bayi sampai mereka yang masih duduk di bangku SD (katakanlah: anak-anak). Namun justru kata itu pula yang sering membuat saya kehabisan kata-kata jika wujudnya hadir secara nyata. Membuat saya jengkel bukan kepalang, dongkol seperti tersedak duri ikan tongkol, atau perasaan menyebalkan lainnya yang mengerikan apabila saya sebut. Biasanya ini muncul kalau saya bertindak "lama" atau bahasa gaulnya "lemot" dalam merespon segala tindak-tanduknya kepada saya. Sebagai contoh, sederhana saja sebenarnya, beberapa menit yang lalu kami sempat chat di YM. Berhubung saya sedang discuss dengan salah satu teman di chat FB tentang satu hal yang menurut saya penting, otomatis saya tidak terlalu menggubris Ym yang sengaja saya online. Setelah beberapa menit berlalu, saya baru nge-cek YM saya. Ternyata terpampang beberapa kalimat dai seberang sana. Dari dia. Karena baru lihat, ya pasti saat itu juga baru saya balas. Nampaknya dia ngambek atas "kelamaan" atau "kelemotan" saya itu. Sikap buruknya ini sering dibarengi dengan prosesi MARAH. Ya, dua kata sejoli ini memang saling bertautan. Begitu juga dengan masalah balas-membalas chat di YM saat itu. Dia ngambek. Dia marah. Dia offline.

Dan yang ini merupakan sifat dari segala sifat yang sangat teramat saya benci, sangat saya kutuk manakala muncul di permukaan: CURIGA. Saya memang bukan maling. Bukan pencuri. Perampok ataupun perompak yang pantas dan layak untuk dicurigakan oleh orang lain. Namun, sifat terkutuk ini kerap hadir lebih sering karena terdahulunya ada beberapa lelaki yang mencoba mengganggu hubungan ini. Ya, katakanlah si A, B, C dan entah menurut dia ada alfabet apalagi yang akan muncul. Kalau sudah kayak gini ya, saya merasa seperti perempuan yang kesana-kesini mau. Padahal demi komitmen seserius apapun (dan diapun tahu dan sadar) kalau hubungan ini bukan main-main. Kami berdua sama-sama serius menjalaninya. Untuk kedepan. Masa iya sih saya punya pikiran untuk menduakan atau menigakan atau men-berapa-kan dia? Terlintas pun tidak! Tanpa diminta sebenarnya saya pun sudah memaafkan dia kalau sifat-sifat yang seperti ini datang (sama seperti dia yang selalu memaafkan saya). Tapi kalau ini terus menerus berlangsung, siapa juga perempuan yang tahan?

Disisi lain, sebagai seorang perempuan yang juga manusia, saya juga memiliki banyak kekurangan, terutama sebagai kekasih dimata dia. Ini saya akui. Sama seperti saya blak-blakan mengakui dua sifat buruknya yang sangat saya benci.
Sampai saat ini, jujur saya belum mempunyai cara yang benar-benar jitu untuk tidak ikut-ikutan menjadi gusar saat mengahadapi dia dengan sifat buruknya itu. Ya, dengan duduk berdua. Berbicara terang-terangan tanpa ada yng ditutup-tutupi itu sudah beberapa kali dilakukan. Namun, beberapa hari kemudian pula hal yang serupa kembali hadir. Bingung -.-

Buat kamu (yang katanya lebih tua setahun dari aku):
Kita masih sama-sama sedang belajar memahami kehidupan. Memahami segala macam tindak-tanduk manusia. Memahami kita, satu sama lain sebagai masing-masing pribadi. Belajar untuk mengurangi yang buruk itu. Perlahan semuanya akan terkikis habis.
*yangselalumenyayangikamu

Rabu, 04 Agustus 2010

Untuk semua yang telah terjadi..

Kisah ini tidak memerlukan penjabaran. Serumit apapun, bahkan hingga kesulitannya menandingi rumus integral, trigonometri ataupun differensiasi. Siapa yang peduli jika aku mati? Tidak ada. Siapa yang peduli jika kamu mati? Ada. Setidaknya satu perempuan. Itupun jika si perempuan lebih lama hidup ketimbang kamu.

Langit pun menjadi saksi, bahwa hujan turun ke bumi melewati beberapa proses. Dalam bentuk rintik sekalipun. Air yang mengalir, bermuara ke hamparan laut. Dengan sebuah proses lalu terjadi penguapan, entah apa yang terjadi kemudian hingga tiba-tiba muncul awan kegelapan. Mendung (tidak! tidak selalu mendung. saat terik pun kadangkala hujan bisa turun). Baru kemudian apa yang dinamakan sejuta umat hadir secara nyata. Hujan, seperti yang tadi aku bilang. Tidak membutuhkan alasan mengapa dia hadir. Karena sejatinya, ada yang berkehendak. Jauh di atas sana. Entah dimana tepatnya berada.

Sudahkah aku bercerita bahwa ayam pun bisa tidur? Atau ikan yang bisa berkeringat saat lelah menghampiri karena telah berenang jutaan mil tak tentu arah? Hmm, coba ingat yang satu ini: Apa aku pernah bercerita tentang bagaimana malunya aku bernyanyi di hadapan kamu? Haha, jangan bohong! Jangan menggelengkan kepala! Anggukan saja. Kau ingat. Pasti ingat. Berapa juta kisah yang kamu ingat dari perjalanan cinta kita yang hampir masuk tahun ke empat ini? Aku tahu, mungkin kamu akan jawab: ratusan juta. Ralat: ribuan juta. Revisi: milyaran. Final answer: tak terhingga. Sesungguhnya apapun yang akan meluncur dari bibir eksotismu, aku pun tak begitu peduli. Karena ini hanya masalah kapasitas otak, bukan sengaja mengabaikan pengalaman.

Semangatku masih menyala, entah untuk apa. Yang aku mengerti aku masih hidup. Dan kehidupan membutuhkan semangat dari setiap insan yang bergelut didalamnya. Itu saja.

Tersenyumlah. Aku tidak memaksamu untuk tertawa terbahak-bahak hingga perutmu yang mulai bergelambir serasa dikoyak-koyak. Tidak juga memintamu meyeringai lebar, menunjukkan sederetan gigi ratamu yang besar-besar. Sesederhana ini: tersenyumlah. Jika sulit, coba paksa otakmu mengingat peristiwa konyol yang kita alami bersama. Ya, coba ingat! Kenapa diam? Tidak berhasil ya? Kenapa tidak juga kau sunggingkan bibirmu? Coba ingat sekali lagi!

Hahaha, kau seperti lelaki kesetanan. Membuatku jantungan. Terima kasih. Ini berkali-kali lipat dari yang aku bayangkan. Senyummu punya kadar berapa pangkat? Pangkat dua, tiga, sebelas, seratus, lima ratus lima puluh lima, dua ratus dua puluh dua, atau berapa? Tak penting. Jujur, aku bahagia sempat melihatnya. Semua yang kulihat ada pada dirimu. Hal yang pernah aku pasrahkan sebelumnya kepada Pencipta. Dan kini, semenjak beberapa tahun yang lalu, kau berhasil singgah.

Andai semua bisa terucap dari mulutku. Mungkin semua tak kan begini, seolah menyudutkanmu. Diam dihadapanmu. Tetapi untuk apa disesali. Toh, semua sudah tercipta. Lebih bijaksana jika mulai sekarang berpikir ke depan. Bukan yang lalu, yang kerap membuntutimu, yang sering mengekor di belakangmu.

Adakah yang salah dari apa yang kita jalani beberapa tahun ini? Sikap? Sifat? Tindak tanduk? Ucap? Otak? Hati? Jiwa? Rasa? Ahh, rasa-rasanya tidak. Pasti tidak. Tuhan selalu adil. Selalu sayang kita. Mungkinkah kita yang kurang menyayangi Tuhan? Retoris. Kita, manusia, yang sejatinya punya kemiringan beberapa derajat dalam tingakatan konsistensi.

Teruslah berlari. Jangan berjalan, terlebih terseok-seok. Mencari sebuah pengharapan lain, pada waktu yang lain. Mungkin untuk saat ini keberuntungan tak berpihak pada kita. Mungkin. Karena keberuntungan selalu datang tiba-tiba. Tak terduga. Entah yang tahu siapa.

Entahlah

Aku lebih takut terkilir ketimbang terjatuh
Walau kening penuh dengan peluh,
tetapi satu yang ku tahu darimu
"Hidup bukan untuk dihabiskan dengan mengeluh"
Hatiku tergerus
Bukan karena pengkhianatan
ataupun melihatmu telanjang badan dengan perempuan
bukan juga karena deretan angka-angka semesteran
Ah!
Lebih dari itu
Mungkin sejuta lebih besar dari itu
Mungkin- tak terkalkulasi
Aku mengamati, mungkin hingga mati
Dalam relung senja di tengah khatulistiwa
Saat semua bersorak, entah karena apa
saat ayam jantan berkokok, entah karena apa
saat angin berhembus, entah karena apa
saat air mengalir, entah karena apa
saat pagi berganti malam, entah karena apa
saat detik berganti menit, entah karena apa
saat hari berganti tahun, entah karena apa
saat cintaku mulai bertanya, dan ini juga dengan alasan yang sama:
entah karena apa