Rabu, 04 Agustus 2010

Untuk semua yang telah terjadi..

Kisah ini tidak memerlukan penjabaran. Serumit apapun, bahkan hingga kesulitannya menandingi rumus integral, trigonometri ataupun differensiasi. Siapa yang peduli jika aku mati? Tidak ada. Siapa yang peduli jika kamu mati? Ada. Setidaknya satu perempuan. Itupun jika si perempuan lebih lama hidup ketimbang kamu.

Langit pun menjadi saksi, bahwa hujan turun ke bumi melewati beberapa proses. Dalam bentuk rintik sekalipun. Air yang mengalir, bermuara ke hamparan laut. Dengan sebuah proses lalu terjadi penguapan, entah apa yang terjadi kemudian hingga tiba-tiba muncul awan kegelapan. Mendung (tidak! tidak selalu mendung. saat terik pun kadangkala hujan bisa turun). Baru kemudian apa yang dinamakan sejuta umat hadir secara nyata. Hujan, seperti yang tadi aku bilang. Tidak membutuhkan alasan mengapa dia hadir. Karena sejatinya, ada yang berkehendak. Jauh di atas sana. Entah dimana tepatnya berada.

Sudahkah aku bercerita bahwa ayam pun bisa tidur? Atau ikan yang bisa berkeringat saat lelah menghampiri karena telah berenang jutaan mil tak tentu arah? Hmm, coba ingat yang satu ini: Apa aku pernah bercerita tentang bagaimana malunya aku bernyanyi di hadapan kamu? Haha, jangan bohong! Jangan menggelengkan kepala! Anggukan saja. Kau ingat. Pasti ingat. Berapa juta kisah yang kamu ingat dari perjalanan cinta kita yang hampir masuk tahun ke empat ini? Aku tahu, mungkin kamu akan jawab: ratusan juta. Ralat: ribuan juta. Revisi: milyaran. Final answer: tak terhingga. Sesungguhnya apapun yang akan meluncur dari bibir eksotismu, aku pun tak begitu peduli. Karena ini hanya masalah kapasitas otak, bukan sengaja mengabaikan pengalaman.

Semangatku masih menyala, entah untuk apa. Yang aku mengerti aku masih hidup. Dan kehidupan membutuhkan semangat dari setiap insan yang bergelut didalamnya. Itu saja.

Tersenyumlah. Aku tidak memaksamu untuk tertawa terbahak-bahak hingga perutmu yang mulai bergelambir serasa dikoyak-koyak. Tidak juga memintamu meyeringai lebar, menunjukkan sederetan gigi ratamu yang besar-besar. Sesederhana ini: tersenyumlah. Jika sulit, coba paksa otakmu mengingat peristiwa konyol yang kita alami bersama. Ya, coba ingat! Kenapa diam? Tidak berhasil ya? Kenapa tidak juga kau sunggingkan bibirmu? Coba ingat sekali lagi!

Hahaha, kau seperti lelaki kesetanan. Membuatku jantungan. Terima kasih. Ini berkali-kali lipat dari yang aku bayangkan. Senyummu punya kadar berapa pangkat? Pangkat dua, tiga, sebelas, seratus, lima ratus lima puluh lima, dua ratus dua puluh dua, atau berapa? Tak penting. Jujur, aku bahagia sempat melihatnya. Semua yang kulihat ada pada dirimu. Hal yang pernah aku pasrahkan sebelumnya kepada Pencipta. Dan kini, semenjak beberapa tahun yang lalu, kau berhasil singgah.

Andai semua bisa terucap dari mulutku. Mungkin semua tak kan begini, seolah menyudutkanmu. Diam dihadapanmu. Tetapi untuk apa disesali. Toh, semua sudah tercipta. Lebih bijaksana jika mulai sekarang berpikir ke depan. Bukan yang lalu, yang kerap membuntutimu, yang sering mengekor di belakangmu.

Adakah yang salah dari apa yang kita jalani beberapa tahun ini? Sikap? Sifat? Tindak tanduk? Ucap? Otak? Hati? Jiwa? Rasa? Ahh, rasa-rasanya tidak. Pasti tidak. Tuhan selalu adil. Selalu sayang kita. Mungkinkah kita yang kurang menyayangi Tuhan? Retoris. Kita, manusia, yang sejatinya punya kemiringan beberapa derajat dalam tingakatan konsistensi.

Teruslah berlari. Jangan berjalan, terlebih terseok-seok. Mencari sebuah pengharapan lain, pada waktu yang lain. Mungkin untuk saat ini keberuntungan tak berpihak pada kita. Mungkin. Karena keberuntungan selalu datang tiba-tiba. Tak terduga. Entah yang tahu siapa.

0 komentar:

Posting Komentar